Senja itu sebuah truk cold diesel dengan kondisi masih berkubang berhenti untuk parkir di salah satu sudut Balai Lalang. Seperti biasa daerah ini menjadi pangkalan bagi sopir truk angkut barang yang menambang lintas Sumatera dan Jawa. Lapau Buyuang Garin merupakan tempat mangkal para sopir, dan nongkrong urang palapau yang ada di kampung ini. Lapau ini terletak di depan Carano yang ada di bawah Batang Kubang, persisnya di sudut jalan arah ke Balai Panjang.

Rupanya si Karapai yang baru datang dari Jawa, setelah hampir sepuluh hari pai manambang. Baru saja ia menginjakkan kakinya di Lapau Buyuang Garin, suasana lapau langsung menjadi ramai.

Lah ha… kurang ciek,” kecek Buyung Untuik.

Karapai sangat paham dengan maksud konconya. Karena tangannya memang sudah gatal pingin memegang kartu, setelah berhari-hari manggisa kayu bulek. Tanpa pikir panjang mereka lansung menuju ke bilik yang ada di belakang lapau.

Buyuang Garin dengan sigap menyediakan kertas remi dan perlengkapan lainnya untuk mereka “bahampok”(berjudi). Kedatangan si Karapai memang sudah ditunggu-tunggu oleh rekan-rekannya. Karena ia baru pulang manambang, dan tentu saja membawa banyak uang, yang bisa mereka palosoh(habiskan) sampai pagi.

Kita tinggalkan sejenak si Karapai dan kawan-kawannya yang sedang asik berjudi. Di luar sana anak-anak tampak berlarian dengan riangnya sepulang mengaji di Makola (surau). Diantara anak-anak itu ada di Upik Banun anak si Karapai. Ketika lewat di depan lapau dia terkejut melihat oto abak(ayah)nya sudah parkir di Balai Lalang. Secepat kilat dia berlari ke rumah, ingin segera bertemu dengan abaknya.

Sesampai di rumah Upik Banun langsung masuk ke rumah sambil berteriak

abak pulang, abak pulang, abak pulang…

sambil terengah-engah dia langsung bertanya “dima abak mak?”

amaknya tentu kaget, “abak kau tapi ka Jawa, alun ado pulang e lai rah,” ujarnya sambil terheran-heran,

itu oto e lah ado di lelang mah” sanggah Pik Banun.

Amak si Upik langsung manggaritia mandanga kecek anak e…

iko alah bahampok lo e takah e mah” ucapnya dalam hati.

pek lah pai wak ka lelang kecek urang rumah karapai,”

sambil tergesa-gesa mengambil salendang untuk penutup kepala.

Sampai di pangka titi, amak si upik berbisik ke anaknya,

“kau imbau abak kau di dalam lapau, kecek an ka Buyuang Garin tu,

tolong imbauan abak ciek pak, kecek an amak sakik di rumah yo,”  “jadi mak” jawab upik, sambil berlari menuju lapau.

Di belakang kadai, pangana si Karapai nampak sadang kusuik, uang saku yang diperoleh dari Jawa tingga saparo lai, coki ko ndak ado nan malatuih rah, ampo se kasado e. satiok awak coki urang sampai.

Batambah kusuik katiko mandanga bisik Buyuang Garin. Sambia manggarutu tapaso lah inyo baranti main, digantian dek sopir serap, jan salah indak oto manambang se nan pakai supir serap rah, urang bajudi pun ado supir serap e he3…

Dibao lah dek si Upik Banun abak e pulang, sampai di pangka titi, amak si Upik lah mananti sambia tagak pinggang. “indak barubah-rubah pangarai e rah, pulang manambang ndak anak bini dan dicalik e rah, nyo bahampok nan dikarajoan e,”

saking panuh paruik e, nyo enjoangan e talingo karapai dek amak di upik di tangah urang rami. Rupo e ndak sakali kini se si karapai ko baparangai rah, alah acok bana inyo mampabuek takah iko, mangko manggalagak darah amak si Upik dek e.

Sepeninggal si Karapai, permainan tetap dilanjutkan oleh Buyuang Untuik dan kawan-kawan. Malam itu udara terasa sangat dingin, Balailalang yang biasanya ramai dengan orang lalu lalang, layaknya namanya, Malam itu terlihat sepi. Angin berhembus kencang yang menjadikan malam semakin mencekam. Di sudut belakang lapau mereka terlihat asyik berjudi. Di sisi lainnya beberapa ada orang bakalumun kain saruang, tidur di palanta meja, dan di meja lesehan. Ada beberapa kemungkinan, yang pertama marando tagang, indak babini atau kanai usia bini, ado nan kalah bahampok, atau tukang sarayo.

Kita kembali ke sudut lapau, tidak banyak orang disitu, hanya sekitar 5 orang. Mereka asyik dengan aktifitas mereka tanpa memperdulikan waktu. Mereka asyik memainkan kartu, ditemani kopi dan rokok. Perputaran kartu diiringi dengan perputaran uang diantara mereka. Satu orang diantara mereka bertugas membagikan kartu, dan mengumpulkan uang. Orang ini disebut dengan Garin. Mereka basitungkin tanpa mempedulikan udara dingin yang mendera. Istirahatnya hanya untuk makan dan karayia. Kalau dilihat dari wajah, mereka tidak muda lagi, rata-rata sudah berkeluarga. Mereka begitu khusyuk tanpa memperdulikan anak istrinya di rumah, apakah sudah makan atau belum. Walaupun sudah tengah malam seluruh kebutuhan mereka bisa dengan mudah dipenuhi oleh Garin, wasit sekaligus tukang sarayo.

Saking dinginnya malam itu Buyuang Garin tiap sebentar pai karayia, satu kali saat ia menyelesaikan hajatnya tiba-tiba ia melihat gerak-gerik beberapa orang mendekat ke arah lapau. Tanpa pikir panjang ia langsung berlari ke dalam lapau, tanpa mempedulikan sarawanya yang taroroh dek kajamban baserak, dia berteriak “polisi, polisi, polisi !…” suasana di dalam lapau langsung bakalebuik, urang nan sadang bahampok lansuang tabang hambua tak tentu arah. Ujang lepai, yang kakinya pincang, lari tunggang langgang ke arang batang aia. Entah bagaimana caranya dalam sekejap dia langsung sampai di belakang heler Koveri. Tanpa pikir panjang dia langsung menyelinap ke dalam kandang ayam yang ada di bawah Rumah Sasak, yang letaknya persis di samping tumpukan sekam heler.

Buyuang Garin dan satu orang kawannya, karena sudah berpengalaman, langsung menyelinap ke dalam WC Surau Bungo melalui jalan setapak yang jaraknya hanya sekian meter dari Dapua Lapau. Tidak dipedulikannya bau menyengat dan godok belepak di sekitarnya, karena rasa takut yang mendera.

Buyuang Untuik mendobrak jendela lapau dan lari menerobos semak-semak lamparik, berlari tak tentu arah, sampai dia bertemu dengan tembok seukuran 1 x 2 meter yang berbentuk kolam setinggi lutut. Secepat kilat dia langsung tiarap di dalamnya, sambil berkelumun kain sarung yang masih bersalempang di pundaknya.

Di dalam lapau polisi hanya menemukan meja kosong dengan kartu dan uang yang berserakan serta sendal para pejudi yang bisa dijadikan sebagai barang bukti. Mereka mencoba mengejar sampai ke belakang, akan tetapi hanya gelap dan semak belukar yang mereka temui, karena dapur lapau langsung berbatasan dengan Lamparik yang penuh dengan semak dan kuburan yang terkenal angker sejak dulunya. Akhirnya operasi tangkap tangan yang digelar Polsek Singkarak malam itu tidak membuahkan hasil. Mereka pulang dengan tangan hampa.

Tidak lama berselang azan subuh berkumandang, lamat-lamat Buyuang Untuik mendengar suara azan yang menggema, dia mencoba menggisa matanya mencoba mengingat-ingat di mana dia saat ini berada. Rupanya saking takutnya dia ketiduran di tempat persembunyiannya setelah dikejar polisi. Ketika terbangun dia melihat ke kiri dan ke kanan ternyata di sekelilingnya yang ada hanya kuburan. Dan parahnya ternyata tempat persembunyiannya adalah kuburan, dan dia tertidur di atasnya. Tanpa sadar celananya mulai basah sambil berteriak dia berlari terbirit-birit ke arah Simpang Ampek. Teriakannya menggelegar menyaingi suara azan subuh yang menggema dari segala penjuru. Dalam kondisi normal jangankan untuk tidur, lewat di situ saja setelah Isya dia tidak berani. Tidak jarang ketika pulang malam dia minta bantuan kawannya untuk diantar pulang, kalau tidak dia lebih memilih tidur di lapau dari pada pulang sendirian lewat Lamparik.

Balai lalang merupakan jantungnya nagari Saniangbaka. Dikelilingi oleh banyak surau dengan jarak yang berdekatan. Di samping Lapau Buyuang Garin ada Surau Bungo, yang di depannya berdiri Makola Tsanawiyah Muhammadiyah. Di depan lapau ada Surau Gadang yang hanya berjarak sekitar 50 M. di seberang Tangayia, sebelah kiri lapau, ada Surau Batuang dan Surau Tangah. Dari arah belakang lapau Suara azan Mesjid Raya terdengar dengan jelas.

Saking banyaknya di Nagari ini menggema ribuan takbir dalam sehari. Apalagi di subuh hari suaranya yang bersahut-sahutan terdengar dengan jernih memanggil orang untuk shalat. Akan tetapi gema azan yang berkumandang ternyata tidak menyentuh hati Buyuang Garin dan kawan-kawan. Lapau itu menjadi saksi sejarah, dimana lokasi perjudian dikelilingi oleh surau dengan ribuan gema suara takbir setiap harinya.

Catatan:

  • Cerita ini hanya fiktif belaka
  • Kalau ada orang yang namanya sama dengan tokoh dalam cerita ini, semua itu tanpa unsur kesengajaan

Tinggalkan komentar

Sedang Tren