Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujan dahulu, di kampuang paguno balun.

Kalimat di atas merupakan salah satu filosofi orang Minang. Anak yang beranjak dewasa, disuruh pergi merantau, untuk mencari pengalaman terlebih dahulu. Harapannya nanti setelah pemikirannya matang, kembali pulang untuk menerapkan ilmu yang di dapat untuk membangun kampung halaman.

Menjadi Aparatur Sipil Negara/PNS merupakan idaman banyak orang, orang tua utamanya. Bagaimana tidak, dengan menjadi PNS penampilan sehari-hari bersih dan rapi, hidup sudah terjamin bulan ke bulan, di hari tua pun kita masih mendapatkan gaji pensiun. Tapi tidak bagi saya, yang dibesarkan di lingkungan pedagang. Ayah saya merupakan pedagang rempah-rempah, dan mempunyai toko kelontong di rumah. Lingkungan tempat saya tumbuh banyak yang pergi merantau untuk berdagang. Sehingga saya dan sebagian besar teman sepermainan juga lebih memilih pergi merantau dibandingkan melanjutkan kuliah. Bahkan sebagian ada yang merantau sebelum atau setelah tamat SMP.

Tidak terkecuali dengan saya, sehari setelah menerima ijazah SMA, saya langsung berangkat ke Bandung untuk berdagang menyusul kakak dan mamak, yang sudah duluan tinggal di sana. Walaupun keluarga tidak setuju, dan menyarankan untuk kuliah, saya tetap bersikukuh untuk pergi merantau.

Setelah menjalani hidup di rantau, ternyata berdagang tidak seindah yang saya bayangkan. Ketika masih di kampung kami membayangkan duit di rantau itu mudah di dapat, karena banyak diantara kami yang mendapatkan kiriman dari sanak Saudara di rantau pada saat masih sekolah. Setelah dijalani ternyata jauh panggang dari pada api. Mencari penghidupan di rantau itu ternyata tidak semudah dibayangkan.

Di masa-masa awal merantau, saya membantu kakak berjualan di Pasar Sederhana, salah satu pasar trandisional di Kota Bandung. Saya terpaksa bangun dan berangkat ke pasar jam 3 subuh, kebiasaan yang tidak pernah dilakukan oleh orang di kampung kami. Sekedar informasi, pasar-pasar trandisional yang ada di Kota Bandung, sebagian besar aktifitas di pasar sudah dimulai sejak jam 2 subuh. Untuk remaja seusia saya yang terbiasa manja, rutinitas tersebut sangat berat buat saya. Tidak berapa bulan, saya angkat tangan dan memilih mundur.

Pernah juga mencoba berdagang kaki lima di Jalan Sukajadi, hasilnya pun sekedar lepas makan. Bahkan pernah jualan seharian, tanpa ada satupun penglaris. Belum lagi dikejar-kejar tibum (sekarang Satol PP) yang suka razia secara tiba-tiba. Setelah 3 tahun bergulat di rantau, akhirnya saya terpaksa pulang kampung. Bukan menyerah dengan keadaan, tapi sakit-lah yang membawa saya pulang. Waktu itu saya di diagnosa dokter kena usus buntu.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki dari 5 bersaudara, orang tua menaruh harapan yang besar terhadap saya. Mereka sangat ingin saya melanjutkan kuliah, walaupun waktu itu ekonomi keluarga sedang sulit. Ayah sedikit memaksa, dan bertekad untuk mencarikan biaya kuliah saya, bagaimanapun keadaannya. Harapan saya balik ke rantau-pun sudah tipis, karena Pasar Cikarang, tempat saya terakhir berjualan sudah ludes terbakar, karena kerusuhan Mei 1998. Melihat harapan ayah yang begitu besar, akhirnya saya luluh, dan mengikuti keinginannya.

Karena sudah merasakan pahitnya hidup di rantau dan mengingat perjuangan orang tua, saya berfikir mungkin inilah jalan terbaik untuk masa depan saya. Akhirnya saya bertekad untuk menjalani perkuliahan dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah saya bisa menamatkan pendidikan Diploma III pas 3 tahun, dengan predikat mahasiswa terbaik, dan selalu mendapatkan IP terbaik setiap semesternya, sehingga tidak perlu membayar uang kuliah setiap semester.

Setamat kuliah, terjadi lagi pergulatan antara pergi merantau ke Jawa atau mencari pekerjaan di Padang. Sempat juga mencoba peruntungan beberapa bulan ke Pekan Baru. Karena besaran gaji tidak sebanding dengan biaya hidup, akhirnya saya kembali ke Padang. Sambil menunggu lowongan penerimaan CPNS, saya mencoba peruntungan dengan mengajar kursus komputer di salah satu lembaga kursus di Batusangkar.

Setelah hampir setahun mengajar, akhirnya saya mendapatkan info lowongan CPNS dan saya memilih mendaftar di Unand. Setelah melalui tahapan seleksi. Akhirnya pada akhir tahun 2002 saya resmi diterima menjadi CPNS di Unand.

Setelah menjalani pekerjaan sebagai PNS, muncul lagi pergulatan di benak saya. Ternyata jadi PNS tidak seindah yang dibayangkan. Bagaimana tidak, setahun pertama saya menerima gaji 80%, karena masih berstatus calon PNS. Besaran gaji yang saya terima hanya separo dari gaji saya menjadi instruktur komputer di tempat kerja sebelumnya.

Selain itu saya coba mempelajari jenjang karir PNS, khususnya di Unand. Untuk naik pangkat, dibutuhkan waktu 4 tahun, tanpa bisa dipercepat. Peningkatan gaji setiap kali naik pangkat, waktu itu kisaran Rp. 50.000 – Rp. 100.000,- serajin dan sepintar apapun kita dalam bekerja, naik pangkat tetap 4 tahun sekali, sama dengan mereka yang malas-malasan dan sering bolos.

Untuk peluang menjabat, pejabat struktural, ada 3 tingkatan untuk tendik, yaitu Kasubag (eselon IV), Kabag (eselon III), dan Kabiro (eselon II), jabatan tertinggi di PTN. Untuk menjadi pejabat struktural, lebih mempertimbangkan masa kerja, dan kepangkatan, bukan kompetensi.

Apa yang terjadi setelah itu? Saya memilih pasrah dengan keadaan. Sempat terfikir untuk menjalani rutinitas seadanya. Dengan golongan II c (pangkat PNS yang masuk dengan ijazah D III) sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa bersaing menjadi pejabat struktural. Sempat terpikir untuk resign, melihat kondisi lingkungan kerja yang monoton, ditambah lagi dengan naluri dagang yang masih kuat mengakar.

Pengalaman hidup di rantaulah yang membuat saya bertahan. Hidup itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, butuh perjuangan untuk dapat meraih apa yang kita cita-citakan. Hasrat yang kuat untuk merantau memang masih ada, tetapi saya memilih jalan lain untuk bisa mewujudkannya (Baca Tendangan 12 Pas).

Tinggalkan komentar

Sedang Tren