Open house merupakan istilah yang saat ini tidak asing lagi di telingan kita. Yang kita tahu selama ini mengenai open house adalah jamuan terbuka untuk para tamu ataupun masyarakat umum yang disediakan oleh para pejabat atau perusahaan pada saat hari-hari besar, seperti perayaan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, ulang tahun atau 17 Agustus. 

Beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun TV swasta menayangkan hasil investigasinya terkait dengan adanya fenomena open house  di salah satu kecamatan yang ada di daerah Pantura Propinsi Jawa Barat. Yang satu ini sangat bertolak belakang dengan open house yang dimaksud diatas. Akan tetapi kegiatan prostitusi secara terbuka di rumah si Penjaja Seks Komersian (PSK) yang diketahui dan direstui oleh keluarganya. 

Tamunya adalah lelaki hidung belang, dari berbagai kalangan, bahkan pejabat, PNS pun banyak yang jadi pelanggannya. Di daerah tersebut masyarakat menganggap kegiatan prostitusi sebagai salah satu profesi yang wajar dan sangat menguntungkan. Sebagian penduduknya hidup dari hasil prostitusi, apakah dengan menjadi mucikari, guide, ojek dan profesi lainnya yang timbul dari kegiatan prostitusi tersebut.

Ketika melihat tayangannya,  saya langsung teringat dengan kondisi kekinian yang terjadi di Kota Padang dimana perilaku remaja yang mulai mengarah kepada indikasi-indikasi yang disebutkan diatas. Akhir-akhir ini di Kota Padang pemandangan sepasang muda-mudi sedang bermesraan di depan umum begitu mudah kita lihat, apakah itu di jalanan, keramaian pasar, apalagi di atas sepeda motor. Sebagai seorang biker ‘yang hampir setiap hari hilir-mudik dengan sepeda motor’ pemandangan tersebut hampir setiap hari saya temukan. Apalagi di sepanjang jalur kampus, yang ramai oleh lalu lalang mahasiswa pengguna kendaraan roda dua, seperti kampus Unand. 

Mereka tidak merasa risih akan pandangan orang-orang disekelilingnya, bahkan dosen-dosen mereka yang sepantasnya dihormati sekalipun yang bisa saja sedang beriringan pergi atau pulang dari kampus tidak dihiraukannya. Seolah-olah dunia ini milik berdua. Mereka dengan leluasa dan tidak merasa jengah berpelukan, bercumbu, bahkan berciuman di tengah padatnya jalur lalu lintas. Padahal mereka hanya baru sebatas teman ataupun berpacaran yang tentunya belum ada ikatan apapun. 

Sebagai orang minang yang memegang teguh falsafah adat basandi syarak syarak basandi kitabullah tentu perilaku tersebut sangat jauh panggang dari pada api. Kalau kita mengacu kepada aturan agama islam sendiri jangankan mereka yang bukan muhrim, suami istri saja dilarang untuk bermesraan di muka umum, karena dikhawatirkan akan mengganggu pandangan orang lain.

Di minang kita punya raso jo pareso yang harus sama-sama kita jaga. Orang tua kita sudah mengajarkan bahwasanya ketika wanita berboncengan naik sepeda motor, dianjurkan untuk duduk menyamping, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi semua tatanan itu sudah dilabrak dengan dalih kemajuan dan perkembangan zaman. Kalau di depan umum saja mereka bisa seperti itu apalagi di tempat sepi yang jauh dari keramaian, yang ada hanya mereka berdua.

Saya teringat akan penelitian terhadap keperawanan mahasiswi di Yogyakarta pada tahun 2002 yang lalu. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) menunjukkan hampir 97 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Pada waktu membaca berita tersebut saya menilai hasil penelitian tersebut terlalu berlebihan dan tendensius. Mustahil di negara yang mayoritas penduduknya muslim, orang-orang terpelajar bisa berbuat sebegitu parahnya. Akan tetapi melihat realita yang ada di Kota Padang saat ini saya mulai berubah pikiran, dan mulai meyakini hasil dari penelitian tersebut. 

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan pendidikan di Pulau Jawa. Pelajar dari seluruh pelosok di Indonesia berlomba-lomba untuk dapat menuntut ilmu di Unversitas terkemuka yang ada di Kesultanan Yogyakarta tersebut. Tidak akan jauh berbeda dengan Kota Padang, yang juga menjadi kota tujuan pendidikan di Sumatera yang tentu saja didominasi oleh mahasiswa urban dari berbagai daerah layaknya Yogyakarta. Status mahasiswa nan baru lapeh kabek, jauh dari pengawasan orang tua, dan kecenderungan untuk berbuat sesuka hati tentu akan lebih tinggi dari pada saat berstatus siswa ‘yang masih berada dalam pengawasan orang tuanya.’

Pernah suatu kali saya diminta bantuan memperbaiki laptop salah satu mahasiswi perguruan tinggi yang ada di Kota Padang, waktu itu saya sangat terperanjat ketika mendapatkan ratusan film-film porno hasil download dari internet, ‘yang saat ini dengan berbagai kemudahan akses internet sangat mudah didapatkan’ di dalamnya. Pernah juga ada kawan yang bermaksud menghilangkan stres dengan bermain game di kemputer anak gadisnya,  bukannya game yang tampil akan tetapi justru film porno yang muncul di layar.

Itulah realitas yang terjadi saat ini. Kasus tersebut merupakan sebagian dari fakta tersembunyi yang banyak terjadi di sekitar kita. Dan tentu lebih banyak lagi kejadian sama yang belum terungkap.

Coba edarkan pandangan di lingkungan sekitar tempat tinggal kita, berapa banyak anak gadis yang begitu bebasnya bergaul. Semenjak sore sampai tengah malam mereka begitu asyik bersendagurau dengan lawan jenis, tanpa menghiraukan lingkungan sekitar. Dan orang tua pun terkesan membiarkan dan tidak merasa risih dengan perilaku anak gadisnya. 

Makanya jangan heran saat ini tidak sedikit perempuan yang hamil di luar nikah. Yang mungkin bagi sebagian dari orang tua hal ini bukan lagi sebagai aib yang harus disesali, akan tetapi bagian dari perkembangan zaman yang harus diterima. Apalagi bagi si anak tidak ada rasa malu atas statusnya sebagai pezina dan label haram yang disandang anaknya seumur hidup.

Saya masih ingat pada sekitar tahun 1980-an dikampung ada seorang anak gadis hamil di luar nikah. Keluarganya mendapat cercaan dan hinaan dari orang sekampung. Orang tuanya sangat malu dengan apa yang dilakukan anaknya. Dan akhirnya mereka sekeluarga memutuskan untuk pergi merantau karena tak tahan menanggung malu akibat perbuatan anak gadisnya. Masih adakah pada saat ini orang tua yang seperti itu, yang merasa malu dan merasa bertanggung jawab atas kelalaiannnya dalam  mendidik anaknya.

Semua itu merupakan imbas dari modernisasi yang kebablasan. Nilai-nilai yang datang dari barat dianggap sebagai sebuah kemajuan. Kita tidak bisa memilah-milah maka yang baik dan mana yang buruk. Di saat  orang tua di barat mulai gelisah dengan nilai-nilai kebebasan yang dianutnya, kita malah menelannya mentah-mentah. 

Menyikapi hal tersebut di atas patut kita tanyakan kepada diri sendiri sebagai orang tua, ataupun kepada generasi muda yang akan menjadi orang tua, dengan alasan kemajuan zaman apakah kita siap kehilangan wibawa di depan anak-anak dengan membiarkannya berbuat sesuka hati di depan mata kita.Pernah ada kawan yang dengan begeitu entengnya mengatakan ‘itulah zamannyo kini, awak indak lo bisa bakareh bana ka anak dalam masalah pergaulannya.’ Dengan melakukan pembiaran-pembiaran dan menganggap perilaku-perilaku menyimpang tersebut sebagai bagian dari perkembangan zaman yang tidak bisa dihindari, secara tidak langsung kita sudah merintis jalan untuk menuju praktek open house. Dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti, apakah itu sepuluh, dua puluh tahun ke depan, di ranah minang akan muncul desa-desa yang menyediakan open house seperti yang diceritakan diatas.

Tinggalkan komentar

Sedang Tren